Return To Base Tak Bisa Dilakukan Sembarangan


Dalam dunia penerbangan, dikenal satu istilah yaitu RTB (return to base), di mana suatu pesawat diharuskan untuk kembali ke bandar udara di mana pesawat itu berangkat (setelah mengudara/airborne).

RTB bisa terjadi karena dua faktor, yaitu teknis dan non teknis. “Faktor teknis umumnya terjadi karena adanya gangguan pada sistem pesawat seperti mesin, struktur atau mekanisme teknis operasional pesawat yang menyebabkan kemampuan (capability) pesawat dalam melakukan penerbangan berkurang hingga di bawah 50 persen,”  Himanda Amrullah, seorang pilot di salah satu maskapai di Indonesia, menjelaskan.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi seorang pilot jika hendak melakukan return to base setelah lepas landas.  Beberapa di antaranya, jarak bandara awal masih dalam radius kurang dari satu jam, cuaca di bandara awal memenuhi syarat untuk pendaratan kembali, berat pesawat sudah memenuhi persyaratan untuk mendarat. ” Dan, sudah dilakukan koordinasi yang baik antara pilot dan awak kabin, pilot dan pihak ATC, serta pilot dan pihak perusahaan beserta staf darat di bandara,” ujar Himanda.

Khusus untuk uncontrollable engine fire yang terjadi setelah lepas landas, Himanda menjelaskan bahwa pesawat harus segera mendarat sesegera mungkin di bandara awal. Koordinasi dengan pihak ATC dan pemadam kebakaran di bandara awal harus pula dilakukan. Hal-hal yang menjadi syarat dasar RTB bisa dianulir karena sifat dari uncontrollable engine fire ini sudah masuk kategori yang sangat berbahaya.

Return to base dari sisi  non teknis juga bisa terjadi. Misalnya karena ada penumpang sakit yang membutuhkan penanganan secepat mungkin dan masih dalam radius kurang dari 1 jam dari bandara awal, serta cuaca di bandara awal masih memungkinkan, atau bandara tujuan tutup.

Tengku Said Irfan Liri, seorang pilot lain juga menimpali. “Kalau teknis, ya berupa technical reason, seperti pesawat yang tidak memungkinkan untuk continue seperti ada malfunction. Kalau non teknis, ya berkaitan selain technical aircraft, misal ada penumpang yang sakit atau airport close, atau NOTAM (notice to airmen) mendadak.”

“Kalau masalah teknis, kita ikuti sesuai checklist-nya saja. Atau bisa juga hasil dari diskusi kita pilot, terus PIC (pilot in command) memutuskan untuk RTB karena masalah teknis meskipun tidak ada perintah di checklist untuk RTB,” tambah Said.

Lalu, berapa berat pesawat (MLW) yang diizinkan untuk  melakukan RTB? Rupanya pada setiap airline dan jenis pesawat berbeda-beda. “Ketentuan MLW (maximum landing weight) itu ada perbedaan prosedur di beberapa airline dan pabrik,” ujar Said. “Kalau pabrik, biasanya strict harus di bawah MLW. Tapi airline kadang bikin kebijakan lain lagi. Kalau di maskapai kami, boleh 5 persen di atas MLW, tapi pesawat setelah itu harus masuk hangar. Ini selain fire, kalau ada fire harus landing di suitable airport,” kata Said tegas.

Mengenai prosedur RTB ini, seorang ramp dispatcher  menjelaskan, ramp akan menanyakan mengapa sebuah pesawat melakukan RTB. “Kalau ada yang sakit, ramp akan siapkan ambulance. Kalau masalah teknis, akan koordinasi dengan orang teknik,” ujar petugas ramp dispatcher itu.

informasi by  http://indoaviation.co.id