Lebih dari 1.000 pilot Indonesia masih belum dapat bekerja di
maskapai penerbangan nasional sampai saat ini. Data ini diperoleh dari
pernyataan Kementerian Perhubungan pada Juni 2016 bahwa ada 900 pilot
menganggur ditambah dengan lulusan STPI Curug akhir tahun lalu sekitar
145 pilot. Belum lagi kalau ditambah lulusan beberapa sekolah pilot
swasta.
Demikian disampaikan Ketua I Ikatan Pilot Indonesia (IPI) Capt Rama
Valerino Noya usai acara maklumat IPI yang dihadiri sekitar 500 pilot ab
initio dan pilot senior anggota IPI di Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Ratusan pilot tersebut kompak hadir dan berkumpul untuk mengungkapkan
“Refleksi Kemerdekaan Pilot Indonesia” yang digagas IPI.
“Pilot Indonesia saat ini masih belum merdeka. Belum merdeka dalam
mendapatkan pekerjaan sesuai profesinya,” ujar Capt Rama. Dia pun
mengatakan, sekarang ada ketidakjelasan masalah kepegawaian pilot, yang
sebagian besar masih kontrak kerja.
“Padahal pilot tidak bisa menjadi pegawai kontrak. Bahkan kontraknya
tidak jelas; kontrak kerja atau ikatan dinas, yang tidak bisa
mengikatnya menjadi pegawai tetap,” ungkap Capt Rama. Masalah ini,
katanya, sudah disampaikan IPI kepada Kementerian Tenaga Kerja dan
Komisi IX DPR RI, bahkan akan disampaikan kepada Presiden RI.
Masalah lain, seperti diungkapkan di atas, sangat banyak pilot ab
initio yang belum bekerja di airlines. Dalam pertemuan tersebut, para
pilot pemula yang baru lulus sekolah pilot (ab initio) itu memang
mempertanyakan tentang berbagai kesulitan yang dihadapi ketika diseleksi
di airlines. Bahkan, menurut mereka, regulator justru berkesan
menyulitkan, bukan memberi solusi.
“Ketika kita mempertanyakan hal tersebut, regulator berkesan memberi
solusi. Namun ternyata bukan solusi karena di lapangan kenyataannya
berbeda,” ungkap Dimas, salah seorang pilot ab initio. Contohnya, mereka
disarankan untuk menjadi pilot penerbangan perintis. “Padahal maskapai
mana yang mau mempekerjakan kita? Mereka saja sulit,” ucapnya.
Hal tersebut juga diakui Basa, juga pilot ab initio. Awalnya ia ragu
menjadi pilot, tapi mendengar dari Menteri Perhubungan waktu itu bahwa
ada solusi untuk menyalurkannya, ia pun masuk sekolah pilot. “Ternyata
setelah lulus, solusinya masih abu-abu,” ujarnya.
Yang mengenaskan, lulusan STPI dan Balai Pendidikan dan Pelatihan
Penerbang (BP3) Banyuwangi, dua sekolah pilot milik BPSDM Perhubungan
yang mendapat subsidi pemerintah pun masih sangat banyak yang
menganggur. Haryo, lulusan STPI angkatan 66 yang lulus akhir tahun lalu,
adalah salah satunya. Dia mengaku, bersama banyak teman seangkatannya
masih menunggu untuk bisa diterima di airlines.
Hal tersebut juga dipertanyakan beberapa pilot senior. Kata mereka,
para pilot yang pendidikannya mendapat bea siswa dari pemerintah
alangkah baiknya diterima di airlines milik pemerintah. “Ini malah
maskapai BUMN menerima pilot dari sekolah pilot swasta,” ucapnya.
Masalah pilot asing yang, kata Capt Rama, masih cukup banyak juga
patut dipertanyakan. “Ada sekitar 560 pilot asing yang bekerja di
airlines kita. Jumlah itu setengahnya dari pilot kita yang masih belum
dapat pekerjaan. Walaupun memang tidak mudah mengganti mereka dengan
pilot kita, tapi ini bisa jadi salah satu solusi,”
tuturnya.
tuturnya.
Banyaknya keluhan dan gambaran kondisi para pilot muda yang
diungkapkan dalam acara maklumat IPI tersebut memang membutuhkan solusi
jitu. “Banyak solusi yang bisa dilakukan karena banyak pula aturan yang
belum diterapkan dengan benar,” ujar Capt Rama. IPI pun akan segera
membawa hasil maklumat tersebut ke berbagai instansi terkait, seperti
Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perhubungan, DPR RI, bahkan
Presiden RI.
Sementara itu, para pilot ab initio, seperti diungkapkan Dimas dan
Haryo, ingin ada transparansi dari airlines dan regulator terkait
kebutuhan pilot. Contoh saja, airlines meminta mereka untuk memiliki 250
jam terbang, sementara syarat aturan dari regulator, 150 jam terbang
sudah bisa dinyatakan lulus dan mendapat lisensi. Begitu juga dengan
syarat harus terbang pesawat multi engine, padahal dalam aturannya cukup
yang single engine. Banyak lagi syarat yang diminta airlines, yang
seringkali diajukan ketika proses seleksi.
“Kenapa tidak diterapkan aturan yang sinkron antara airlines dan
regulator? Ini kan nantinya tak akan menyulitkan kami,” kata Dimas.
Walaupun para pilot tersebut belum bekerja di airlines, kebanyakan
dari mereka memang tidak menganggur. Mereka tetap bekerja, seperti Dimas
yang saat ini mengelola bengkel mobil. Namun sungguh tak adil jika para
tenaga profesional yang sekolahnya menghabiskan biaya
Rp700juta-Rp1miliar itu “dibiarkan” tanpa bekerja sesuai profesinya.
Betapa ruginya negara luas yang kaya dan sangat membutuhkan transportasi
udara ini tidak memperhatikan lebih dari 1.000 pilot dengan biaya
Rp700miliar-Rp1triliun yang sudah dikeluarkan masyarakatnya.
“Kami memang optimis, suatu saat bisa menjadi pilot karena ada pasang
surutnya. Seperti pernah dialami Indonesia ketika tahun 1998 banyak
pilot menganggur, sepuluh tahun kemudian malah kekurangan pilot,” tutur
Dimas.
informasi by http://indoaviation.co.id